milik siapa?

ambil penamu. kita akan membuat daftar tentang dirimu sendiri.
siapa yang memilihkanmu sekolah dan universitas? hmm, siapa yang meminta kau masuk IPA atau IPS? program studi yang kau jalani inisiatifmu kan? ah, kau pasti diburu untuk segera lulus. sejujurnya, kau ingin menganggur dan berkelana selepas lulus. tapi, tak berhasil bukan? lalu, kau pun melamar ke entah berapa perusahaan sampai kau lupa untuk posisi apa saja kau melamar. dunia sudah selesai? tidak, kawan.
eh, berapa gajimu? eh, kok kariermu mandek? eh, kok kau tidak terkenal? eh, kenapa tiba-tiba kau mengundurkan diri?
bagaimana kau membiayai hidupmu? bagaimana nasibmu ke depan? bagaimana kau membantu menjaga nama baik kami? bagaimana kami tanpamu? bagaimana kau memilih semua ini dalam hidupmu?
kalau saja ada satu celah keberanian, sedikit saja, untuk membuka mulutmu demi sebuah kebenaran yang menyakitkan.
kalau saja ada kekuatan untuk mengambil risiko dan melahap semua kepahitan yang menyertainya.
kalau saja ada keyakinan untuk menempuh jalan-jalan sunyi seorang diri.
ya, kalau saja kau mampu menunjukkan kenyataan yang sangat, sangat, sangat menyakitkan.
mungkin dengan itu kita tidak perlu lagi bertanya
“kita ini milik siapa?”

cukup

seberapa cukupkah cukup?
kapan kamu merasa cukup makan, cukup mencintai, cukup bekerja, cukup marah, dan cukup segala macam?
orang di sekitar saya mengajarkan agar saya tidak berhenti di kata cukup. kata mereka cukup itu medioker. cukup itu tidak menantang dan orang muda seharusnya tidak berhenti di kata cukup.
aneh, kau aneh dunia.
menjadi cukup rasanya justru paling sulit di dunia.
di tempat ini dunia meminta banyak dari kita. kita meminta banyak pada satu sama lain. makanan, uang, kerja, tenaga, pikiran, perasaan, yang lebih banyak. kita meminta dan kita memberi. kita sama-sama tidak pernah mampu cukup.
berlari terus berlari demi memuaskan yang tidak kasat mata. ah, bukankah dulu kita bisa bahagia dengan yang serbacukup?
dengan uang yang pas-pasan, dengan tawa yang lepas, dengan mimpi yang sederhana. kita merasa cukup dengan apa yang kita punyai.
kita tidak mengikat sesuatu terlalu erat hingga tak perlu kehilangan terlalu berat. kita melangkah seringan peri, dari satu bumi ke bumi lainnya.
saya ingin punya keberanian itu juga untuk mengatakan “cukup” pada ikatan yang saya jalani empat tahun terakhir. cukup karena cukup.
tapi, seberapa cukupkah cukup?

hilang

ini klise tapi benar adanya : kamu baru menyadari sesuatu berharga setelah kehilangan.
ini tentang makuku, anjing kami yang berayah kuplit si doberman dan popo si peking. entah mengapa namanya makuku, entah pernah ada nominasi nama macam apa untuk menyambut kelahirannya. tapi, kalau dipikir-pikir, ini nama yang tidak bias gender (doh!). kamu tidak bisa menebak apakah dia betina atau jantan dari namanya. well, dia betina. dan perawan seumur hidupnya.
makuku punya bulu seperti benang katun putih kecoklatan. dia tinggal di atas genteng magenta rumah kami. matanya selalu sayu, hidungnya selalu basah. dia kami takdirkan sebagai anjing penjaga. dia menggonggongi semua tamu yang datang. dia menyalak menyambut ayah-ibu yang akan datang sepuluh menit berselang.
genteng adalah rumah makuku dan langit cihanjuang adalah semesta angkasanya. dia sendirian menghadapi hujan dan petir tanpa selimut dan kawan. entah bagaimana dia bertahan selama 13 tahun hidupnya dengan dingin dan sepi yang menganga. bayangkan jika itu terjadi pada seorang manusia, hidup seorang diri selama 13 tahun dengan 24 jam penuh hanya berkawan sunyi dan lalat dan nyamuk malam.
kami semua terbiasa mendengar salakannya. saya masih bisa mengingat masamasa kuliah di yogyakarta. saya hanya pulang empat kali setahun ke rumah. dan setiap pulang, makuku menyambut dengan salakannya yang galak dan melengking. dia minta ditemui.
dan saya memang rindu menghabiskan waktu bersamanya. saya teringat masa kecil ketika saya baru berusia 13 tahun. saya malas berkawan. ya, saya memang punya bakat menyebalkan. saya berpikir hanya makuku yang mengerti. maka, ke genteng saya menuju berbaring ditemani makuku. baiklah, saya akan mengakui ini : saya berbicara dengan makuku. mengobrol seperti dia bisa mengerti apa racauan saya. i seemed mental, aight? entahlah, tapi saya selalu merasa dia mengerti. dia menangkap semua emosi yang saya tularkan. dia akan mengibaskan ekor lalu mengedipkan mata sendunya berkalikali.
pun terakhir kali saya pulang ke rumah. di pertengahan juli sepulang dari india. saya sudah mendengar kabar ini jauhjauh hari, makuku hampir mati. dia tak lagi makan pun minum. dia menolak didekati. untunglah ketika saya pulang, dia sedang bersemangat. kakinya sudah pincang, matanya berair dan dia bak menularkan melankolia yang begitu pekat. saya menangis.
kepulangan terakhir, saya masih sempat memotretnya, mengajaknya menghabiskan matahari pagi, melompatlompat seperti belasan tahun lalu. saya berbisik padanya “hey, tunggu aku di bulan desember ya. jangan mati dulu.”
pagi di awal agustus, saya menyambangi ibu kota. pesan singkat masuk dari kakak saya. kabar yang sampai saat ini masih membuat saya terus berkacakaca. kabar pergimu, makuku.
kata mereka, malamnya kau masih bernyawa kendati terus menggeram. napasmu mulai habis. dan di pagi hari, mereka menemukanmu di genteng itu terkulai dengan lidah keluar. mungkinkah kau sedang berjalan entah ke mana dan kematian tanpa peduli menjemputmu paksa?
rumah sedang kosong saat itu. jadi mereka memutuskan menguburkanmu keesokan harinya. dan di taman depan kamilah akhirnya mereka membaringkanmu. dibungkus kain putih dan diiringi sepi yang mereka tak tahu apa. ada yang hilang dari rumah itu yang hanya bisa kami mengerti.
pekan lalu aku pulang, makuku. kembali ke rumah yang tak lagi sama. tempat pembaringanmu sudah rimbun. rumput dan ilalang tumbuh menyelimuti kuburmu. aku dan kakakku tak henti membicarakanmu, seperti berbicara tentang kawan masa kecil yang paling setia.
kamu adalah pelarian ketika semua manusia dan segala isinya memuakkan. aku jadi ingat seorang kawan yang bicara begini : hubungan manusia dengan binatang menguji semanusiawi apa manusia.

ah, kami belum jadi manusia mungkin karena mengabaikanmu bertahun-tahun.
di taman tempatmu berbaring juga pernah ada katrin, kanto, rambo, doris, popo, dan banyak anjing-anjing lain yang mengisi masa kecil kami. ah, tapi kamu kawan yang paling lama bersama kami. aku melihat lahirmu tapi mungkin tak akan cukup berani untuk melihat matimu yang tragis.
kalau memang George Orwell benar, maka kau akan berada di Sugarcandy Mountain saat ini. tidak ada lagi hujan dan petir pun sepi, kawan.
dan, kami? kami masih bergumul dengan kehilangan dan rasa bersalah yang absurd ini.

nyata

semua tampak sureal akhir-akhir ini. terkadang seperti gumpalan ingus yang mengganggu.
saya memutar lagu ini berulang-ulang. the pains of being pure at heart-young adult friction. pun hari ini ketika saya baru terbangun sore dan biru langit seakan tidak akan pernah luntur. gitar dan drum serasa keluar berhamburan dan semua yang terjadi dua minggu terakhir terhampar bak diorama. saya membakar rokok. smoking kills suckass! ahya, pekan lalu saya menerjemahkan sebuah artikel soal bahaya merokok sehabis bangun tidur. oke, artinya saya akan mati. who’s not? oke. gitar dan drum berhamburan dan langit dari jendela kamar saya di lantai dua cantik sekali. saya bisa mati damai.
lagu ini menyiksa sekali. saya jadi ingin melompat riang ke sana ke mari. serasa saya baru disuntik serum semangat yang berlebihan. semua mimpi-mimpi jadi punya sayap. mereka menempel di semua membran sel. seperti saya bisa mendadak ikut tes IELTS dengan nilai 7,5 lalu melahap ratusan buku, mengisi form beasiswa, dan saya akan terbangun di Aarhus, di samping pria dengan wajah bak Brad Pitt dan perut sekencang Yesus. haha. itu saya colong dari sebuah film.
hati saya sesak dan kepala saya penuh, tetapi saya tidak tahu mau berbuat apa. harihari yang penuh, berlari seperti serombongan bison. mereka mengejar saya dari gangga, mamasa, jakarta, dan kini mengikuti hingga lubang kepala. hey, kamu siapa? apakah ini semua nyata? kalian semua datang meminta saya jadi ini itu yang ada di kepala kalian. hey, saya tidak pernah meminta. saya ingin berlarilari dengan semua rahasia. rahasia tentang kamukamu semua yang membikin kepala saya bertanduk. ya, itu semacam memori atau rindu atau melankolia yang berusaha menggapai-gapai kamu yang tak mampu saya gapai. ah, apakah saya berhasil mencuri mimpimu? ya, ya, ya itu saya yang datang bak rusa yang berlarian mengelilingi kamarmu untuk menengok kamu. kamu sebenarbenarnya adalah kamu yang sendirian di dalam kamar, dengan sedikit rindu, sedikit mimpi, sedikit asa yang kamu patahkan sendiri berkalikali. dan saya ingin mengunjungimu di sana, di ruang antara yang kamu sembunyikan, di tempat saya datang tak sengaja dan memintal semua rahasia.ya, buka pintumu sedikit saja, biarkan saya melompat di semesta tandatanda. saya minta sedikit saja, sebelum saya mematahkan semua mimpimimpi saya sendiri.
hey, lagunya berakhir di menit empat detik ke-enam.
don’t check me out.don’t check me out.don’t check me out.
mungkin sayalah yang butuh toffee dan vicodin. menunggu kamu.

kita

kita bisa memilih berpasang-pasangan, mengguyuri satu sama lain dengan banyak pujian dan perhatian dan menghabiskan banyak waktu untuk saling membaca yang tersirat di setiap tanda-tanda. kita mungkin akan menghabiskan matahari hingga memakan habis cahaya terakhir di lampu taman selepas malam. ya, bisa jadi itu kita. kita bisa saling menuangkan bir dari botol yang sama, menyesap buih yang sama banyaknya dengan kata-kata yang terlempar ke udara. kita bisa menahan sejenak waktu tersisa dengan berbagi sebatang rokok yang sama. rasanya seperti bekerja sama membuat peti mati kita. tragis tetapi terasa manis. kita bisa bertahan dengan banyak ingatan lama lalu belajar saling melukai. kita semua mungkin terbiasa. luka adalah jejak bukan? kita bisa menghanguskan semua cerita itu lalu memutuskan saling membenci dan meninggalkan. kita bisa melontarkan semua sumpah serapah, membuat neraka yang lebih liar dari pikiran Dante sekalipun. kita bisa juga hanya diam. kita mungkin lebih percaya bahwa diam menyakiti lebih dalam ketimbang kata anjing sekalipun. diam membunuhmu pelan, menyisakan dendam yang berkarat. semua bisa terjadi dalam semua serentetan peristiwa yang mahakecil, yang renik-renik, yang bahkan kerap luput dari semua pancaindera itu. kalau ada jalan kembali, mungkin kita juga bisa hanya menjadi kawan yang tidak selalu hadir saat dibutuhkan. kita bisa menjadi kawan saja dengan rasa rindu satu sama lain yang kita simpan dalam diam. kita bisa hanya menjadi kawan yang terus saling merindukan. kita bisa hanya menjadi kawan yang sesekali meninggalkan, dan sesekali kembali datang. pilihan kedua mungkin lebih menyenangkan. kita bisa bersama tanpa pernah mengucapkan perpisahan. mungkin dengan begitu kita tidak punya luka yang berlarat-larat. yang ada hanya diam, diam, dan diam di dalam keterpukauan semua gugusan bintang.