Saya bertemu Ishak di awal November yang ceria, saat hujan turun sepenuh hati. Di kedai kopi dalam sebuah pusat perbelanjaan dia menyambut saya bersama aroma kopi yang meruap dari cangkir di meja. Pendingin udara bak menyemburkan bunga-bunga es, lagu terbaru J-Lo berdentam dari gerai tetangga, kekosongan memeluk saya erat.
Pria itu Ishak Ngeljaratan. Namanya sudah sering saya dengar. Dia juga kolumnis di harian terbesar di Makassar. Baru kali ini saya berhadapan langsung dengan pria yang nyaris menjadi seorang pastor itu. Nyaris? “Saya mundur ketika akan ditahbiskan. Saya merasa tidak layak,” ucapnya. Dia bicara tanpa memandang mata saya.
Saya tertegun. Saya kenal dengan beberapa orang yang menapaki jalan kesunyian dengan menjadi pastor. Ada yang mundur di awal karena tidak sanggup, ada yang berhasil melewati ujian, ada yang berhenti ketika sudah menjadi pastor. Ishak berbeda. Dia masuk ke seminari menengah hingga seminari tinggi dan menempuh pendidikan Teologia. Saya membayangkan dia akan jadi pastor dengan khotbah yang cihuy. Pastor yang membuat saya bisa kembali datang ke gereja, bukan untuk menyembah apa dan siapapun, tapi untuk mengakui bahwa saya bukan siapa-siapa.
“Saya tahan godaan. Saya lama mengajar di sekolah khusus perempuan di Manado dan saya tidak tergoda,” kata Ishak.
Entah mengapa saya percaya. Rasanya dia bukan seperti pastor cabul yang sempat saya tonton di beberapa film. Ah, rasanya saya ngelantur.
Begitulah. Dia memilih tetap melayani meskipun tidak menjadi pastor. Dia mengajar, mendidik, dan aktif membangun gerakan solidaritas antarumat. Yang terpatri betul dalam kepala saya ialah saat dia berkata, “Bukan toleransi yang dibutuhkan, tetapi akseptansi. Menerima bahwa ada yang berbeda.”
Perbincangan kami melebar ke mana-mana. Saya membiarkannya berceloteh tentang apapun. Sudah lama juga saya tidak tenggelam dalam percakapan macam ini. Semua pintu dalam diri saya seakan terbuka menerima celotehannya. Kadang alur perbincangan ini meninggi, kadang merendah, kadang melompat sesuka hati. Acak dalam keteraturan.
“Saya berhenti merokok. Bukan demi kesehatan, tetapi karena ini pilihan yang adil buat keluarga,” tukasnya.
Ini jawaban yang paling logis yang saya dengar. Mayoritas orang berhenti merokok demi alasan kesehatan. Ayah saya pun berhenti merokok setelah dia salah didiagnosa sakit jantung. Bagusnya, ayah saya tidak sakit jantung. Lebih bagusnya lagi, dia berhenti merokok. Pertimbangan Ishak sederhana saja. Uang untuk membeli rokok dalam seminggu seharusnya bisa dialokasikan untuk keluarganya. Sebetulnya beberapa penelitian juga pernah menjabarkan bahwa konsumsi rokok pada keluarga miskin termasuk pengeluaran terbesar. Bahkan biaya rokok bisa lebih tinggi daripada biaya makan.
“Saya tidak mau datang ke gereja kalau ternyata hanya disuguhi khotbah yang kosong dan dicomot dari surat kabar,” katanya Ishak dengan nada mulai meninggi.
Ah, saya serasa menemukan pahlawan. Jujur saja, hanya satu dari sedikit sekali khotbah yang saya ingat. Mungkin terakhir kali lima tahun lalu ketika saya masih kuliah. Saya menyempatkan diri pulang ke Bandung. Dan, ya sebagaimana anak yang tinggal bersama orangtuanya, saya ikut ke gereja. Saya ingat pastor Yulius yang gondrong manis itu menutup khotbahnya dengan kalimat, “Mari berdosa dan mencinta.”
Itu penutup yang selalu saya ingat sampai saat ini. Bagi saya kalimat itu terasa rapuh, kuat, dan manusiawi sekali. Kontradiksi yang manis. Setelah itu saya selalu bengong saat khotbah membayangkan makanan, pakaian, dan godaan duniawi lainnya. Haha. Dan, saya juga merasa tidak terpanggil datang lagi ke gereja.
Bagi Ishak itu semua wajar. Manusia mencari dan mencari ke mana saja. Bisa jadi dia tidak menemukan apa yang dia cari di dalam sebuah bangunan yang disebut rumah ibadah. Bukan bangunan, tapi fungsi bangunan. Bukan agama, tapi fungsi agama. Ishak terus- menerus mengulang kalimat itu sembari mengedarkan pandangan ke orang yang lalu-lalang.
Ada jeda sebelum Ishak berkata, “Rahmatan Lil’ Alamin. Semuanya itu harusnya merahmati, semua tempat, semua orang harus menjadi rahmat bagi yang lain.”
Saya sering mendengar istilah itu. Tapi, semuanya jadi nyata dan indah saat meluncur dari mulut Ishak. Jalan raya yang dibangun harusnya memberi rahmat bagi manusia dan binatang yang melintas. Semua alam raya mulai dari matahari, kelopak bunga, dan serangga juga adalah bagian dari rahmat. Saya mendadak spiritualis saat mendengar itu semua. Tapi saya percaya kata Ishak. Itu bukan milik satu ajaran agama, itu semua rahasia yang disimpan semesta.
Saat perbincangan kami makin menukik-nukik, sebuah pertanyaan melintas di kepala saya. Ini pertanyaan yang rasanya sudah berkarat di kepala dan dia mendesak minta keluar. “Tubuh manusia membusuk di tanah. Tapi, ke mana rasa, imaji, dan kenangan bermuara?”
Ishak terdiam sejenak sebelum menjawab, “Semua itu tetap hidup dan mengambil tempat yang berbeda-beda.”
Butuh lama bagi saya untuk akhirnya mengerti apa makna jawabannya. Sebenarnya saya pun tak paham benar, bahkan mungkin apa yang saya tangkap tak mendekati sedikitpun dari apa yang ingin dia sampaikan. Entahlah, tapi saya paham.
Ini perbincangan yang begitu berat sekaligus ringan. Saya seakan ingin menari-nari. Tapi kalimat penutup yang membuat saya begitu ringan akhirnya keluar juga. “Jadilah semesta. Be who you should be.”
Saya menghabiskan kopi susu yang rasanya sungguh enak itu. Saya mematri kalimat itu di kepala saya. Saya pikir ini ‘khotbah’ dari seorang calon pastor yang akan saya kenang. Siapa sangka pusat perbelanjaan ini juga bisa menjadi sebuah ‘gereja’. Mungkin saya lancang bicara seperti ini, mungkin tidak. Saya tidak tahu.
Saya berpamitan. Di luar, hujan masih bersukaria. Saya kehilangan karcis parkir dan didenda Rp 10.000. Pengendara motor di belakang saya marah-marah karena menunggu saya membayar denda. Sungguh sulit jadi semesta di tengah orang-orang yang marah. Sungguh.