“coba buka jendelamu, di sana hanya horizon tak bertuan. hanya horizon”
saya mendengar kalimat itu berdengung konstan di kepala saya, entah siapa yang pernah mengucapkannya. bisa jadi itu isi kepala saya sendiri yang terus merapal kalimat itu bagai mantra.
saya teringat senja di foto itu, sebuah sore di Sengkang, Wajo, suatu waktu di bulan April, suatu titik yang mungkin tak tertera di GPS. saya membuka jendela kamar di lantai dua, dan hanya cakrawala tanpa batas. siapa yang bisa melukis jingga sepuitik itu, sering saya membatin demikian.
setiap memandang horizon, saya tertegun juga merasakan betapa banyak yang boleh saya lalui. terkadang ini lebih aneh dan ajaib dari sebuah kisah fiksi sekalipun. di sebuah fase dalam hidup, kamu melihat semua yang datang dan membanjiri pasti selalu berlalu. sebut saja semua kepedihan juga keriaan, semua akan berlalu. jangan-jangan saya jadi lebih mirip jalanan jakarta yang tetap kokoh disapu banjir yang akan surut pada waktunya. ah, saya tidak mau disamakan dengan jakarta.
di setiap senja di kota asing selalu ada yang berubah. orang-orang yang kau temui, mereka adalah api, jarum, air, tanah, payung, telaga, kerupuk, plastik, apapun yang membuatmu sadar. mereka dengan cerita yang beragam pun seringkali dengan sinisme yang pekat. mereka semua bagian ceritamu. ada satu masa ketika kau mencoba tidak menghakimi apapun, bahkan menghakimi mereka yang menghakimi orang lain. ada masa kau melihat potret yang lebih besar dan kau merasa tidak ada yang perlu disalahkan.
“kamu akan melihat potret yang lebih besar. tapi ketika kau sudah di usiaku ya. bersabarlah”.
saya ingat ucapan kawan yang berusia dua kali lipat dari saya itu. ya, mungkin di masa itu ketika saya dengan sepenuh hati percaya dunia ini memang pincang, berpeluh, penuh luka, tetapi juga punya selaksa horizon yang mempertemukanmu dengan banyak kisah luar biasa.
maka, saya pun membuka jendela. hanya horizon di sana, hanya horizon.