tenggelam

musim kemarau yang panjang, 1996.

dia 12 tahun, berambut ikal panjang, berat tak sampai 30 kilogram.  sabtu itu semua anak pergi ke kolam renang, 500 meter dari sekolah mereka. dia ikut, membawa baju renangnya. dia tidak bisa berenang. kilau air menggoda-goda, berkilat ditimpa sinar matahari. lima kawannya, gadis-gadis yang lincah, bergegas menuju sisi kolam. byur! mereka melompat. mengapung, tawa pecah. dia seperti bandul yang bergerak tertiup angin, melesat tanpa tahu arah, meluncur ke air yang siap memeluk. byur! satu,dua,tiga,empat,lima,enam,tujuh. sial! ini kolam dalam. dia tidak bisa berenang. kawan-kawannya tampak jauh. seperti tersedot ke pusaran entah apa. dia kelu. tenaga dari mana membuat kakinya menolak air. tubuhnya melambung dan tangan kanannya sigap meraih pegangan besi. hap! nafasnya memburu.dia selamat. kebodohan membuatnya tenggelam.

dia 26 tahun. ratusan kilometer dari tempatnya menghabiskan masa kecil. setahun terakhir dia kembali belajar berenang. dia berhasil. dua jam dia habiskan waktu di kolam. menyisiri tepian hingga kedalaman yang selalu bisa terlalui. terkadang dia berpura-pura tenggelam untuk mengetahui seberapa mampu dia bertahan. menahan nafas. agar tahu betapa berharganya sehelai nafas.

jauh di luar kolam, dia tenggelam.semua orang tenggelam. siapa yang tidak? hari habis, cinta aus, semangat pudar. kadang dia bertanya : “apakah memang semua orang memilih tenggelam atau mereka secara bodohnya tenggelam?”

mereka yang bekerja pun menganggur, melajang pun menikah, beragama pun agnostik. semua tenggelam. jangan-jangan kita semua berada di kapal karam yang tenggelam, tak lama lagi. lalu, haruskah tenggelam, atau melompat sendirian dan mencari daratan? kenapa kita harus tenggelam dan kenapa kita harus menyelamatkan diri? kadang saya hanya ingin tenggelam tanpa berpikir harus selamat. atau jangan-jangan saya bisa menghindari ini kalau memilih dengan tepat?

dan datanglah kawan saya ini. dia bilang : ini bukan lagi tentang pilihan.pilihan sudah lama berlalu. ini soal tenggelam. dan mencari cara agar tetap bisa bernafas.

ah ya, palu sudah diketuk.pilihan sudah dibuat.ini saatnya tenggelam. tapi saya mungkin tak akan mau bernapas. saya mau tenggelam.tenggelam.menahan napas sampai lupa caranya bernapas. bukankah kapal memang sudah karam?

 

sunyi

empat perhentian, satu ingatan.

di kota masa lalu aku berlabuh, membuang sauh. aku berharap ini saatnya jeda dari segala peluh dan keluh.

ah ya, kamu masih tersenyum sama teduhnya seperti dulu. di terangmu aku menatapi puncak gunungmu, di gelapmu aku mencumbu lagi batubatu.

kamu membawa angin kering bulan juni. ya, juni itu selalu menjadi transisi. antara yang hidup dengan yang mati. antara yang datang dengan yang pergi. tak terkecuali kali ini.

hai, aku kembali. dengan setumpuk memori dan imaji. dengan mimpi yang kian tinggi. dengan sunyi tak terperi.

sunyi. kau pun pernah memberiku ini. rasa yang tak terpermanai, hinggap tanpa permisi.

kita ini manusia dengan lubang di jiwa, tanpa punya sesuatu apapun untuk menambalnya.

sendiri, aku memacu si roda dua. melayari lagi semua cerita. melankolia…

aku selalu pergi, tapi tak pernah mampu melepas pergi. pun kali ini, aku menolak gravitasi.

dandelion, harusnya aku sepertimu. terbang pergi tak kembali. berakar dan berbahagia di tempat terjanji.

sayangnya, aku angin, merindu helaihelaimu menghampiri. di semesta yang teramat sunyi.

sunyi, bantu memori untuk alpa.